Akhirnya Pemerintah Memperpanjang Izin Operasi Freeport

Freeport Perpanjang Kontrak 6 Bulan - Alat Berat Blog

sio.co.id – Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 23 Januari 2015 pemerintah Indonesia memberikan keputusan perpanjangan nota kesepahaman terkait izin operasional PT Freeport Indonesia selama enam bulan. Peresmian perpanjangan kerja sama itu dilakukan akhir pekan kemarin di Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, Minggu 25 Januari 2015.

Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) yang telah diperpanjang masa berlakunya itu turut dihadiri oleh Chairman Freeport-McMoran James R Moffet.
Dengan demikian, pemerintah dan Freeport Indonesia bisa mendapat tambahan waktu untuk pembahasan amandemen kontrak karya. Sebab, ada beberapa hal yang belum menemukan kesepakatan terkait kontribusi anak usaha Freeport-McMoran asal Amerika Serikat itu kepada negara Indonesia.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI Sudirman Said menyatakan bahwa perpanjangan MoU diperlukan karena masa berlakunya sudah habis pada Sabtu kemarin.

“Kalau tidak diperpanjang MoU yang berakhir tanggal 24 Januari 2015, kami tidak punya landasan untuk renegosiasi (kontrak karya),” ujar Sudirman saat rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin 26 Januari 2015.

Sebelumnya, Sudirman menjelaskan bahwa pemerintah ingin Freeport lebih banyak berperan terhadap pembangunan, Ada sejumlah poin penting yang ditekankan pemerintah agar dipenuhi oleh Freeport.

Salah satunya adalah terkait peningkatan royalti dan setoran dividen sebagai penerimaan negara. Selain itu, ada juga poin mengenai ketentuan divestasi serta penggunaan barang dan jasa dalam negeri alias konten lokal.

Diharapkan dalam jangka enam bulan ke depan, proses renegosiasi amandemen kontrak karya bisa rampung. “Dalam waktu itu harus diyakinkan ada keputusan Freeport yang mengakomodasi semua aspirasi pemerintah,” kata Sudirman.

Kehadiran nota kesepahaman ini tidak terlepas dari pemberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara sudah resmi berlaku 12 Januari 2014. Dalam undang-undang tersebut diatur kewajiban perusahaan tambang untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian barang tambang (smelter).

Dengan berlakunya UU Minerba itu, perusahaan tambang dilarang untuk mengekspor barang tambang mentah. Ada enam barang tambang yang dilarang untuk diekspor dalam bentuk mentah, yaitu emas, tembaga, bijih besi, nikel, batu bara, dan bauksit.

Ketentuan dalam UU itu berlaku bagi semua perusahaan tambang yang beroperasi di Tanah Air, tidak terkecuali penambang raksasa seperti Freeport. Penerapan regulasi ini bertujuan meningkatkan nilai tambah pada barang tambang, sehingga diharapkan dapat lebih memajukan industri tambang di Indonesia.

Pemerintah akan memberi sanksi bagi perusahaan tambang yang menolak membangun smelter, diantaranya menghentikan kontrak karya bagi perusahaan tambang di Indonesia yang tidak memenuhi kewajiban membangun smelter hingga akhir 2014.

Pada Juli 2014 itu, pemerintah Indonesia dan Freeport meneken MoU di mana pihak perusahaan tambang raksasa itu sepakat untuk membayar bea keluar ekspor sesuai peraturan yang terbit pada periode tersebut, membayar jaminan kesungguhan pembangunan smelter sebesar US$115 juta dan meningkatkan royalti.

Terancam Izin Ekspor Dibekukan

Batas waktu yang diberikan kepada Freeport untuk memenuhi komitmen pembangunan smelter adalah hingga 25 Januari 2015. Sudirman mengaku kecewa pada Freeport, karena sampai 20 Januari 2015 ternyata lokasi dan tanah yang akan digunakan untuk pembangunan smelter pun belum jelas. Ia pun memperingatkan, Jika batas waktu dilewati, maka izin ekspor mineral Freeport akan dibekukan.

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, Kamis 22 Januari 2015, menyatakan komitmen perusahaan untuk tunduk patuh pada segala peraturan di Indonesia.

Ia mengakui Freeport masih belum bisa mengimbangi ritme pemerintah yang amat cepat dalam upaya hilirisasi industri pertambangan. “Saya akui perusahaan ini berada di jalur lambat dalam upaya menunjukkan komitmennya kepada regulator,” ujar Maroef di Jakarta.

Maroef berharap dengan komitmen ini, pemerintah tidak terburu-buru membekukan izin operasional dan ekspor Freeport. Sebab, keberadaan Freeport dinilai penting sebagai penggerak laju perekonomian di wilayah Papua. Catatan Maroef menunjukkan Freeport mengupah hingga 13 ribu karyawan lokal yang bekerja langsung di area pertambangannya.
“Kalau Freeport ini berhenti, jika terjadi pengangguran sebanyak itu, bagaimana dampak sosialnya?” kata Maroef.

Untuk itu, Maroef menegaskan, Freeport akan melaksanakan komitmennya dalam mematuhi segala sesuatu yang mengatur kegiatan usaha maupun operasional pertambangannya. Termasuk pembangunan smelter. “Perusahaan ini tidak boleh memberikan tambahan beban untuk pemerintah, bangsa, dan negara. Lapangan kerja harus terbuka dan keberadaannya harus dipertahankan,” kata Maroef.

Pembangunan smelter, menurut Maroef, disadari bukan proyek yang bisa dikerjakan dalam waktu singkat. Sebab, dalam prosesnya membutuhkan serangkaian kajian dan studi kelayakan, termasuk pertimbangan teknologi yang harus digunakan di dalamnya.

Meski berkomitmen prioritas industrinya akan dikembangkan di Papua, termasuk smelter dan kegiatan hilir lainnya, namun Freeport juga memiliki “sasaran antara” agar kegiatan operasionalnya bisa terus berjalan. Untuk itu, Freeport menegaskan kesiapannya membangun smelter yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur.

Pertimbangan memilih lokasi smelter di Jawa Timur adalah ketersediaan infrastruktur yang memadai dan mendukung. “Kebetulan di lokasi yang kami tentukan itu berdempetan dengan BUMN, yaitu Petrokimia,” kata Maroef.

Pemanfaatan limbah asam sulfat dari smelter Freeport akan bisa dimanfaatkan oleh PT Petrokimia Gresik untuk pembuatan pupuk. “Ini dapat mengurangi cost BUMN, daripada harus mencari ke mana-mana, atau impor misalnya, makanya kami bekerja sama,” kata Maroef.

Pemerintah Terlalu Lembek

Direktur Eksekutif Indonesia Mining Monitoring (Inmining) Rusdiansyah, Senin 26 Januari 2015, menyatakan Freeport sangat lambat menentukan lokasi pembangunan smelter barunya. Padahal pemerintah sudah memberikan keringanan sehingga Freeport bisa ekspor lagi.

“Seharusnya Menteri ESDM Sudirman Said memberikan sanksi yang tegas kepada Freeport yang melanggar peraturan atau wanprestasi. Aturan mempunyai kewibawaan jika diterapkan,” kata Rusdiansyah dalam keterangan tertulis.

Ia menambahkan, MoU antara Freeport dan pemerintah pada Juli 2014 berisi kesanggupan Freeport membangun smelter. Namun, meski ekspor berjalan, progres Freeport dalam pembangunan smelter belum terlihat hingga jelang batas akhir berlakunya MoU tersebut. “Berarti seharusnya Freeport dilarang ekspor konsentrat,” kata Rusdiansyah.

Ia pun menilai dengan diterbitkannya izin ekspor konsentrat dari Kementerian ESDM itu justru menimbulkan kecurigaan adanya kongkalikong antara Kementerian ESDM dengan Freeport.

Rusdiansyah, mendesak Izin ekspor konsentrat yang dikeluarkan oleh Kementrian ESDM tahun lalu bagi Freeport harus ditinjau ulang. Hal itu karena hingga kini Freeport belum juga membangun fasilitas smelter.

“Tanpa membangun smelter, hal ini akan sangat merugikan bagi bangsa dan merupakan bentuk tidak menghormati dan tidak menghargai hukum yang berlaku di Indonesia,” kata Rusdiansyah.

Dalam kesempatan terpisah, anggota Komisi VII, Eni Maulani Saragih, Senin 26 Januari 2015, menyatakan parlemen berencana memanggil paksa Freeport menghadiri rapat dengar pendapat. Sebab, sudah tiga kali Freeprot mangkir dari panggilan komisi yang membidangi pengawasan energi dan mineral ini.

“Undang-undang memberikan kewenangan kepada kami untuk melibatkan Polri supaya pihak yang kami undang datang,” ujar Eni di Gedung Parlemen, Jakarta.

Pemanggilan terhadap Freeport ini terkait pembahasan kendala pembangunan pabrik smelter. Ia menilai Freeport tidak merealisasikan pembangunan smelter di Gresik hingga akhir 2014 dan terkesan selalu mengulur-ulur waktu. Padahal Freeport sudah berjanji membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian hasil tambang itu sejak pertengahan tahun lalu.

Sumber : news.viva.co.id

Share This :

Komentar